Pagi ini (Senin, 12 Agustus 2013), saya membaca salah satu tweet teman saya : Iyan Narendra (@iyannarendra). Membuat saya berpikir dan ingin membuat tulisan. Dia sempat ngetweet seperti ini :

travel iyan

Di satu sisi saya tau bahwa dia adalah orang yang memang suka jalan-jalan, dan di sisi lain, saya harus menyetujui apa yang dia katakan. Saya pun mengaplikasikan tweet itu ke diri saya sendiri. Puji Tuhan. Saya sudah pernah travelling sendiri.

Saya setuju, di usia 20-an (dimulai dari 20 – 29 tahun ya) bisa dibilang adalah usia yang masih sangat produktif, masih muda, mempelajari tentang hidup, belum terlalu banyak keterikatan dengan banyak hal, sehingga di usia itu lah masih bisa melakukan sesuatu yang kita suka (yang bahkan sesuatu yang menurut orang lain mungkin adalah sebuah ‘kegilaan’ — you know… Orang lain will say “gila lo!” Semacam itu lah.

Saya sendiri pertama kali melakukan travelling sendirian saat di usia 23 tahun, tepatnya di Juli 2012 ke Bali. Buat saya, ini adalah sebuah reward untuk diri sendiri yang tertunda. Reward untuk hadiah kelulusan kuliah saya yang selesai di usia 22 tahun (Oktober 2011). Hehehe. Saya ingat, saya menyiapkan segala macamnya sendiri. Dua hal yang saya siapkan sekali (selain uang pastinya) adalah tiket perjalanan dan penginapan. Iya lah. Gimana caranya bisa liburan tanpa 2 –eh 3 hal itu? Puji Tuhan, saya berhasil menghabiskan total 4 – 5 hari di Surabaya dan Bali. Ada satu kepuasan ketika rencana itu akhirnya selesai. Satu pertanyaan : “ternyata gini ya rasanya liburan sendiri dan mandiri?” pun terjawab.

What I’m trying to say is …. bepergian sendiri, liburan, jalan-jalan, belanja, or in short word : me time memang perlu kok. Tidak bergantung sama orang lain dan bersenang-senang sendirian bisa jadi satu hal yang menyenangkan. Saya pribadi menganut satu paham : “cara orang bersenang-senang itu berbeda”, jadi tidak bisa selalu memaksa orang lain untuk bersenang-senang dengan cara kita. Mengajak is okay, tapi memaksa is no way.

Pulang dari liburan mandiri, saya menerima banyak respon seperti, “Wih! Gila juga lo, Dim!”, “Berani juga lo, Dim!”, dll. And I take that as a compliment. Saya senang mendengar respon itu. Bisa jadi saya juga bangga dan tertantang untuk melakukan liburan mandiri lagi. Tidak perlu selalu keluar kota. Mencoba wisata kuliner di dalam kota juga bisa dianggap liburan mandiri kok. Pesan saya sih cuma satu : bertanggung jawab. Jadi … Lakukanlah “kegilaan” yang bertanggung jawab — Okesip! Berbahagialah kamu yang juga pernah merasakan liburan mandiri. Semua pengalaman yang didapat saat liburan adalah satu pembelajaran yang sangat mahal. Jauh lebih mahal dibanding harga tiket perjalanan dan penginapanmu.

Gimana? Tertantang liburan sendirian? Enjoy your young age! 😉

—–

P. S.

Thank you, Iyan untuk tweetnya yang menginspirasi tulisan kali ini. 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published.

7 + = 14